Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fransiskus Adhiyuda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Direktur Laboratorium Antikorupsi, Adnan Topan Husodo menilai, langkah Calon Wakil Presiden nomor urut 3, Mahfud MD yang mundur diri dari jabatan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) menunjukkan yang bersangkutan memiliki etika.
Adnan mengatakan, langkah Mahfud itu seharusnya diikuti oleh paslon lainnya yang kini menduduki jabatan publik, yaitu Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka, dan Wakil Ketua MPR Muhaimin Iskandar.
Sebab, dia mengatakan pejabat publik yang menjadi calon di Pilpres memiliki sumber daya yang besar.
“Kalau posisinya ada di dua tempat tadi, pejabat publik dan calon, masalahnya kan resource negara bisa disalahgunakan untuk kepentingan elektoral. Itu yang kami lihat dalam perkembangan terakhir ketika kebijakan pemerintah untuk mendistribusikan Bansos, gitu, ya. Yang mana sebenarnya ini sangat dekat untuk mencari dukungan pemilih. Padahal itu duit kan dari APBN, masyarakat yang bayar lewat pajak, kok bisa digunakan untuk semacam itu,” kata Adnan saat dihubungi wartawan, Kamis (1/2/2024).
Dia juga menduga, pejabat publik yang mencalonkan di Pilpres 2024 juga bisa mengerahkan pejabat dan jajaran di bawahnya untuk ikut mendukung diri mereka.
Maka dari itu, kata Topan, langkah Mahfud mengundurkan diri sebenarnya sudah tepat.
“Itu seharusnya menjadi standar etik dari para pejabat publik yang sekarang berkontestasi. Entah posisinya sebagai capres atau cawapres,” kata dia.
“Prabowo mundur dari Kemenhan, Gibran mundur wali kota, Cak Imin mundur dari anggota DPR itu aman. Masing-masing bisa berkontestasi secara adil meskipun dalam kasus hari ini presidennya sudah punya kepentingan untuk mendorong paslon 2 menang,” sambung Topan.
Topan pun mencontohkan seorang Sekretaris Daerah (Sekda) berdasarkan aturan harus mundur apabila mencalonkan diri dalam Pemilu.
Dia lantas mempertanyakan mengapa jabatan yang lebih tinggi dari sekretaris daerah yang memiliki kekuatan lebih besar malah tidak melakukan hal serupa.
“Potensi abuse dan korupsinya lebih besar dalam bentuk apa pun. Entah itu pengaruh arahan, kebijakan yang mengarahkan juga untuk kepentingan dirinya sendiri atau kepentingan kelompok yang dia dukung, penggunaan fasilitas negara karena enggak jelas dia cuti atau bukan dan sebagainya. Praktis dalam kondisi itu akan muncul konflik kepentingan yang hanya bisa ditekan kalau pejabat publiknya mundur,” ungkap dia.
Topan juga mengkritisi pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menyebut dirinya boleh berkampanye dan berpihak di Pilpres 2024.
Menurut Topan, Jokowi sedang memanipulasi aturan yang ada selama ini.